METODE PERBANDINGAN AGAMA DENGAN
ILMU LAIN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Perbandingan Agama
Dosen
Pengampu : Imamul Huda,
M.Pd.I
Disusun Oleh :
1. Nayirotul Fadhilah (23010150216)
2. Izzatin Nisa’ (23010150220)
3. Isti Nurhalimah (23010150241)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama
merupakan wahyu dari Tuhan dan asal mula dari kebudayaan manusia yang dapat dileliti dan dapat dipelajari
melalui berbagai cara dan berbagai banyak segi. Karena, manusia menurut
fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu pada dasarnya naluri alamiah untuk
menyembah pada suatu obyek yang tinggi darinya atau menguasainya. Naluri ini
sudah ditegaskan dalam al-Qur’an merupakan penyaluran dari dorongan yang berada
jauh dialam bawah sadarnya yaitu dorongan kembali kepada Tuhan.
Agama
merupakan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena, agama
memberikan ketenangan, pencerahan, solusi, maupun kemajuan yang pesat dalam
peradaban manusia. Akan tetapi fakta menyatakan bahwa agama yang ada didunia
ini sangat banyak sekali perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang
lainnya. Perbedaan itulah yang menjadikan ketidak cocokan antara penganut dan
pelaksana agama yang ada didunia ini. Perbedaan diantara pengikut agama itulah
yang menjadikan secara visual agama khususnya tampak radikal, fanatik dan penuh
pemberontakan.
Pada
hakikatnya, antara agama yang satu dengan agama yang lainnya telah memiliki
persamaan dan perbedaan dari berbagai aspeknya, mulai dari kepercayaan, cara
beribadah, nilai-nilai, tingkah laku, hingga aspek sosial yang mengajarkan
interaksi antar manusia. Dilihat dari hal tersebut, makalah ini akan
menjelaskan mengenai ilmu perbandingan agama tentang metode-metode perbandingan
agama dengan ilmu lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian ilmu perbandingan agama?
2. Bagaimana
metode-metode perbandingan agama dengan ilmu lain?
3. Apa
faedah mempelajari ilmu perbandingan agama?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian ilmu perbandingan agama
2. Untuk
mengetahui metode-metode perbandingan agama dengan ilmu lain
3. Untuk
mengetahui faedah mempelajari ilmu perbandingan agama
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perbandingan Agama
Kata
agama dalam bahasa Arab dikenal dengan “din”
(Ad-Diin). Diin (Ad-Diin) bisa
berarti adat kebiasaan atau tingklah laku, balasan, ta’at, patuh dan tunduk
kepada Tuhan, hukum-hukum atau peraturan-peraturan.[1]
Abu
Ahmadi dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu perbandingan
agama adalah ilmu yang mempelajari tentang bermacam-macam agama, kepercayaan
dan aliran peribadatan yang berkembang pada berbagai bangsa sejak dahulu hingga
sekarang.[2]
A.
Mukti Ali menjelaskan bahwa yang dimaksud denga ilmu perbandingan agama adalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala
keagamaan dari pada suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain yang
meliputi persamaan dan perbedaan.[3]
Perbandingan
agama harus didasarkan pada asas semangat dan keyakinan atas kebenaran islam
diatas semua agama. Kita mempelajari perbandingan agama untuk beberapa tujuan
antara lain:
1. Untuk
semakin menguatkan keyakinan kita terhadap kebenaran Islam dan kebatilan
agama-agama yang lain.
2. Untuk
mengakses dialog antar agama, dalam rangka dakwah dan kemaslahatan bersama.[4]
B. Metode
Perbandingan Agama dengan Ilmu lain
Sekarang
akan dibahas tentang metode yang dipergunakan untuk memahami agama.[5]
Agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat
kebudayaan sejak awal permulaan sejarah umat manusia. Kenyataan ini merangsang
timbulnya minat para ahli untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai
ajaran yang diturunkan melalui kewahyuan maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Lingkungan dan kebudayaan, baik sebagai pemilik pribadi maupun kelompok. Minat
orang untuk mengamati dan mempelajari agama itu didasarkan atas anggapan dan
pandangan bahwa agama sebagai sesuatu yang berguna bagi kehidupan pribadinya
dan umat manusia. Tetapi selain itu ada juga yang didasarkan atas pandangan
yang negatif dengan anggapan yang sinis terhadap agama, karena agama baginya
adalah merupakan khayal, ilusi dan merusak masyarakat.[6]
Demikianlah
agama telah berada ditengah-tengah manusia sepanjang sejarahnya. Ia merupakan
aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pribadi dan masyarakat. Tidak ada agama
dan juga tidak ada struktur masyarakat yang dapat dianggap sebagai suatu gejala
yang terpisah sama sekali satu sama lain, demikian kata Edward H. Winter.[7]
1. Metode
Fenomenologi
Pendiri metode ini, yaitu Edmund Husserl,
menganggapnya hanya sebagai disiplin filsafat murni dengan tujuan membatasi dan
menambah penjelasan-penjelasan yang murni psikologis dari proses pemikiran.
Segera pendekatan fenomenologis itu dipergunakan untuk menerangkan
lapangan-lapangan seni, hukum, agama, dan sebagainya. Fenomenologi agama
dikembangkan oleh Max Scheler, Rudolf Otto, Jean Hering, dan Gerardus van der
Leeuw. Tujuannya adalah untuk melihat ide-ide agama, amalan-amalan, dan lembaga-lembaganya
dengan mempertimbangkan “tujuannya”, namun tanpa menghubungkan dengan teori-teori filosofis, teologis,
metafisis atau psikologis.[8]
Gerardus van der Leeuw (1890-1950), beliau
berpendapat bahwa power, kekuatan
atau kekuasaan, adalah dasar dari konsepsi agama. Tulisannya yang utama, Religion in Essence and Manifestation,
merupakan sebuah buku yang padat dengan tipologi tentang fenomena agama,
termasuk macam-macam korban, tipe-tipe orang suci, kategori tentang pengalaman
agama dan berbagai bentuk dari fenomena agama lainnya.[9]
Ada empat macam studi secara fenomenologis ini.
Pertama, adalah fenomenologi agama secara umum, yang juga disebut morfologi
agama. Yaitu deskripsi fakta-fakta keagamaan secara teratur, suatu perbandingan
diantara satu dengan lainnya untuk membedakan yang sama dan yang tidak sama.
Suatu pengklasifikasian yang rasional atas dasar analisis yang bersifat empiris
dan kategorisasi yang bersifat deskriptif. Pada prinsipnya dalam fenomenologi
agama secara umum seperti mendapatkan tempat.
Kedua, adalah fenomenologi agama khusus. Studi ini
melahirkan suatu kumpulan fenomena yang pokok-pokok. Seperti disatu pihak bermacam-macam
dewa tumbuh-tumbuhan, bermacam-macam korban yang berbeda-beda, aneka ragam tipe
syaman. Di lain pihak bisa juga pemilihan kumpulan fenomena itu dengan cara
menetapkan data keagamaan yang ada dalam masyarakat atau kelompok masyarakat.
Seperti pada agama suku bangsa Afrika tertentu. Dalam hal ini pengertian
fenomena diselidiki dalam hubungan masyarakat dengan masyarakat atau kumpulan
masyarakat tertentu.
Ketiga adalah fenomenologi agama refleksi. Disini
sebagian merupakan metodologi dan sebagian merupakan teologi. Kedua prosedur
ini dipakai dalam memperinci dan menganalisis. Demikian juga persoalan yang
fundamental dari sesuatu studi agama seperti hubungan antara masalah-masalah
nonagamawi ataupun melulu mengenai fenomena agama.
Keempat adalah fenomenologi agama eksistensialis. Di
sini titik tolaknya adalah melulu mengenai kehidupan manusiawi dengan segala
sifat-sifat yang dimilikinya, kualitasnya, kemungkinan-kemungkinannya serta
permasalahan-permasalahannya. Studi ini langsung tertuju kepada cara dimana
manusia dalam lingkungan yang berbeda-beda sejak mula-mula masyarakat berburu
sampai masyarakat industri zaman modern telah menanggapi secara agamawi
terhadap segala permasalahan yang dijumpainya. Terutama dalam hal ini, baik
agama ataupun nonagama, orang dapat memperkembangkan potensi kesadaran diri
yang dimilikinya.[10]
2. Metode
Sosiologi
Dari segi sosiologi, pendekatan terhadap agama telah
melahirkan berbagai teori. Diantara teori-teori itu, yang sangat terkenal
adalah teori tingkatan. Teori ini dikemukakan oleh August Comte. Comte biasanya
dianggap sebagai pendiri ilmu sosiologi modern. Teori ini umumnya sebenarnya
secara subtansial berdasarkan pada suatu pandangan khusus terhadap agama.[11]
Penyelidikan agama secara sosiologis sebenarnya
telah menerapkan adanya pengaruh masyarakat atas agama dan gejala-gejalanya dan
sebaliknya juga pengaruh agama atas masyarakat dan gejala-gejala kemasyarakatan.
Di satu pihak idealisme sering kali tidak mempertimbangkan dipengaruhinya agama
oleh faktor-faktor kemasyarakatan, tetapi dilain pihak banyak pemikiran dan
marxistis membuat kesalahan untuk semata-mata mau mencap agama sebagai satu
gejala sosial saja.
Memang kaum Marxis materialistis kelihatan tidak
sangsi memaksakan pendapatnya tentang agama ini. Mereka cenderung meneliti
hal-hal yang berhubungan terutama dengan ritual, pengalaman-pengalaman agama,
dan juga lembaga-lembaganya. Disamping itu mereka juga memusatkan perhatian
kepada ajaran ajaran dan cerita-cerita keagamaan. Hal ini saja sebetulnya sudah
merupakan satu problem bagi kaum komunis dalam menetapkan teorinya kalau mereka insaf bahwa, teori itu adalah
hasil dari suatu teori yang lebih awal yang tingkatannya lebih tidak duniawiah
tentang agama. Teori itu tidak diakui dan tidak cocok bagi
kebudayaan-kebudayaan lain, seperti persoalan tentang Cina modern, tentang
status agama mereka menurut orang Markis.[12]
3. Metode
Psikiologi
Dalam abad ke-20 muncul pendekatan baru untuk
menjelaskan agama dari segi ilmu pengetahuan, yaitu pendekatan psikologi.[13] Sangat
erat hubungannya dengan perdebatan psikologi ini adalah apa yang dihasilkan
oleh Sigmund Freud. Freud (1866-1939), salah satu pemikir besar abad ini yang
turut menentukan cara bagaimana seharusnya orang memandang dunia dan dirinya
sendiri dewasa ini, telah berhasil merumuskan satu pendekatan terbaru dalam
bidang psikologi yaitu pendekatan psiko-analisis. Dalam tulisannya mengenai
agama, ia tidak pernah menyembunyikan atheismenya,
karena baginya agama adalah gangguan kejiwaan. Psiko-analisis dihasilkan
setelah ia mencoba berbagai metode terlebih dahulu, terutama metode hipnosis
dan metode sugesti.[14]
Zakiah Daradjat menyimpulkan teori psiko-analisis
Freud tentang agama, dalam tiga faktor:
a. Sesungguhnya
kepercayaan agama seperti keyakinan akan keabadian, surga dan neraka tak lain
dari hasil pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan yang
mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran,
b. Sikap
seseorang terhadap Allah adalah peralihan dari sikapnya terhadap bapak, yaitu
sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan kesayangan.
c. Doa-doa
lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang didasari (obsessions) untuk
mengurangkan rasa dosa, yaitu perasaan yang ditekan akibat
pengalaman-pengalaman seksual. Yang kembali kepada masa pertumbuhannya kompleks
Oedip.
Sehubungan dengan psiko-analisis, maka ada
diriwayatkan, bahwa nabi Muhammad saw sudah menyelidiki gejala-gejala kejiwaan
seorang pemuda Yahudi, yaitu Ibnu Sayyad secara kritis dan cermat. Menurut
Iqbal, Nabi Muhammad adalah seorang penyelidik pertama atas gejala-gejala
kejiwaan dengan cara yang kritis.[15]
4. Metode
Ilmiah
Suatu aliran menekankan bahwa untuk mendekati agama
itu semestinya sui generis yang sama
sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang
terdapat dalam pelbagai bidang pengetahuan lainnya.[16] Aliran
lain menyatakan bahwa sekalipun bagaimana dan apa pun masalah yang diteliti, metode
yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini
dipergunakan dalam arti ganda. Dalam arti sempit, ia menunjukkan metode yang
dipergunakan pada ilmu-ilmu alam. Sedangkan dalam arti yang luas, ia menunjuk
pada suatu prosedur yang bekerja dengan disiplin yang logis dan utuh dari
premis-premis yang jelas. Tetapi, sebetulnya pada dua pendekatan ini terdapat
kekurangan. Dalam lapangan agama sebenarnya harus dikembangkan metode baru
yaitu metode “sintesis”. Berkenaan dengan aliran kedua yaitu aliran yang
berpendapat bahwa meneliti agama haruslah dengan cara “ilmiah”. Kita mempunyai
alasan untuk menentang pluralisme bahkan dualisme dalam masalah-masalah metode
dari ilmu pengetahuan.
Kebenaran adalah satu, kosmos adalah satu, oleh
karena itu pengetahuan juga satu. Pengahayatan ini sangat penting. Sekalipun
kita tidak setuju dengan interpretasi positif dari prinsip ini, kita harus
menggabungkannya pada metodologi kita yang didasarkan pada tuntutan ganda.
Tuntutan yang pertama adalah bahwa metode itu harus disatukan. Ini merupakan
keharusan. Semua idealisme dan naturalisme termasuk materialisme bangun dan
jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Namun demikian, untuk memahami
suatu kebenaran adalah satu hal, dan untuk memiliki kebenaran itu adalah satu
hal lain. Kita harus realistik bahwa pengetahuan kita tentang segala sesuatu
itu adalah sebagainya saja, dan bahwa hanya Tuhanlah yang mengetahui
keseluruhannya. Tuntutan yang kedua adalah bahwa metode itu mencukupi untuk
sasaran yang diteliti. Dan ini cocok dengan prinsip yang pertama, yaitu satunya
metode.[17]
5. Teori
Antropologi
Antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada
kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa tulis baca dan tanpa teknik.
Dengan demikian untuk melakukan praktek antropologis, diperlukan teknik-teknik
tertentu.
Usaha pertama memadukan penyelidikan arkeologi
terhadap manusia prasejarah disatu pihak dengan penelitian antropologi dilain
pihak dilakukan oleh seorang amtropolog Inggris, John Lubbock. Bukunya yang
berjudul The origin of Civilization and
The Primitive Condition of Man bagannya terdiri dari satu skema yang
bercorak evolusi mulai dari atheisme,
fetishisme, totemisme, syamanisme, anthropomorphisme, monoteisme, dan monotheisme
etis.[18]
Menurut Van Baal, agama tidak dijumpai secara
umumnya, melainkan secara satu persatu, selaku agama satu suku, satu bangsa,
sejemaah, segereja, dan sebagainya. Sebab itu setiap agama harus diteliti
sebagai satu sistem yang meliputi segala seluk beluk yang berhubungan
dengannya. Juga harus selalu didasari bahwa agama adalah satu perwujudan
sosial, walaupun yang percaya atau yang tidak percaya itu adalah
pribadi-pripadi. Namun, isi kepercayaan, tradisi, mitologi, dan upacara-upacara
semuanya didapati dari nenek moyang, kalau agama itu primitif, atau
tradisional, dari guru-guru agama, atau dari pendeta-pendeta setempat, kalau
agama itu berdasar atas kitab-kitab tertentu pada zaman dahulu. Setiap agama
memiliki satu sistem yang disusun dari adat istiadat, upacara dan
tradisi-tradisi yang diwarisi dari generasi ke generasi. Dan memang setiap
generasi mengadakan sedikit-sedikit perubahan atau tambahan terhadap warisan
itu, tapi adalah jelas, bahwa setiap generasi dan individu , mulai menerima
agamanya selaku warisan pendahulunya. Itulah pemahaman Van Baal terhadap agama
berdasarkan kitab suci. Metode antropologi hanya tepat untuk digunakan meneliti
agama primitif itu saja.[19]
6. Metode
Teologi
Metode teologi yaitu suatu pendekatan yang normatif,
subyektif terhadap agama adalah pendekatan teologis. Pada umumnya pendekatan
ini dilakukan dari dan oleh penganut sesuatu agama dalam usahanya menyelidiki
agama lain. Maka pendekatan ini bisa juga disebut pendekatan atau metode
tekstual, atau pendekatan kitabi, maka ia selalu menampakkan sifatnya yang
apologis dan deduktif.[20]
7. Metode
Perbandingan
Seorang
ahli sosiologi yang paling berpengaruh sejak akhir abad ke-19, adalah Max
Weber. Ia melihat adanya hubungan yang nyata antara ajaran protestan dan munculnya
kapitalisme. Ia telah memperkirakan adanya hubungan dalam ajaran Calvinisme tentang Ascetisme
dunia ini yang telah menciptakan suatu disiplin yang rasional dan karya etis
berbarengan dengan menabung yang akan dipakai untuk penanaman modal. Namun
demikian, Weber mengakui bahwa teorinya yang seperti itu harus dites. Akan
tetapi harus diakui, bahwa sumbangan pemikirannya yang utama adalah
uraian-uraiannya yang sangat sistematis mengenai adat istiadat dan kebudayaan
lain dari sosiologi. Tulisannya tentang Islam, Yahudi, agama-agama India dan
Cina sangat berpengaruh. Begitu juga ia telah menghidangkan berbagai kategori
dalam bidang agama, yang sudah dijadikan alat perbandingan dengan
bermacam-macam materi perbandingan pula. Denga demikian, ia dianggap sebagai pendiri
yang sejati dari sosiologi perbandingan. Dan oleh karena perhatiannya yang
khusus terhadap agama, maka ia juga dianggap sebagai tokoh besar dalam bidang
perbandingan agama.[21]
C. Faedah
Mempelajari Ilmu Perbandingan Agama
A.
Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama, mengemukakan bahwa faedah
mempelajari ilmu perbandingan agama bagi seorang muslim adalah:
1. Untuk
memahami kehidupan batin, alam pikiran, dan kecenderungan hati berbagai umat manusia.
2. Untuk
mencari dan menemukan segi-segi persamaan dan perbedaan antara agama Islam
dengan agama-agama yang bukan Islam. Hal ini sangat berguna untuk perbadingan,
untuk membuktikan dimana segi-segi dari agama Islam yang melebihi agama-agama
lain, berguna juga untuk menunjukkan bahwa agama-agama lain, berguna juga untuk
menunjukkan bahwa agama-agama yang datang sebelum Islam itu adalah sebagai
pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan lebih penting.
3. Untuk
menumbuhkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapat petunjuk
tentang kebenaran, serta menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan
kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat.
4. Ilmu
ini bukan hanya berguna bagi para mubaligh, tapi juga para ahli agama Islam,
karena pikiran lebih tajam dengan mempelajari berbagai agama dengan cara
membanding dan akan mudah memahami isi dan pertumbuhannya.[22]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dapat
disimpulkan bahwa ilmu perbandingan agama yaitu ilmu yang mempelajari tentang
gejala-gejala keagamaan, kepercayaan, peribadatan, dan tentang semua persamaan
serta perbedaan yang ada disemua agama yang sudah berkembang diberbagai bangsa
hingga sekarang.
Adapun
metode-metode perbandingan agama dengan ilmu lain yaitu meliputi metode
fenomenologi, metode sosiologi, metode psikologi, metode ilmiah, antropologi,
metode teologi, dan metode perbandingan. Semua metode tersebut dapat mengetahui
pebedaan yang ada disemua agama meliputi dari kepercayaan, peribadatan, dan
sebagainnya.
Faedah
mempelajari ilmu perbandingan agama salah satunya yaitu untuk mencari dan
menemukan segi-segi persamaan dan perbedaan antara agama Islam dengan
agama-agama yang bukan Islam, serta untuk memahami kehidupan batin, alam pikiran,
dan kecenderungan hati berbagai umat manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2010. Perbandingan Agama. Jakarta: Bulan
Bintang.
Ali Mukti, A.
2002. Ilmu Perbandingan Agama. Yogyakarta: Yayasan Nida.
Ali Mukti, A. 1992. Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia. Bandung: Mizan.
Daradjat, Zakiah, ddk.
1996. Perbandingan Agama 1. Jakarta:
Bumi Aksara.
Daradjat, Zakiah, dkk,
1996. Perbandingan Agama 2. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jirhanuddin. 2010. Perbandingan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wach, Joachim. 1984. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta:
Rajawali.
[1]Jirhanuddin, Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 3.
[2]Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Cet. 17, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 1-2.
[3]Ibid., hlm. 4.
[4]A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta:
Yayasan Nida, 2002), hlm. 5.
[5]A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 74.
[6]Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 37.
[8]A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 78.
[9]Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 71.
[10]Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 1, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 37.
[11]Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 60.
[16]Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta:
Rajawali, 1984), hlm. 19.
[17]A. Mukti Ali, Op Cit., hlm. 75.
[18]Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hlm. 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar